Kamis, 01 Mei 2014

Refleksi 21 Tahun Kasus Marsinah



KEMANA PERGIMU

Kemana pergimu wahai sang dewi
episode kepergianmu berlalu begitu cepat
episode perjuanganmu penuh haru biru
semuanya lantas sunyi senyap ketika sang diktator marah padamu
kebebasan, kesejahteraan dan kesetaraan yang kau perjuangan
kini telah menjadi prasasti keabadian yang mengiringi langkah perjuangan laskarmu

kemana pergimu wahai sang pahlawan
mereka yang seharusnya bertanggung jawab seakan tak perduli
seandainya kau hadir saat ini
datang untuk sekedar memberikan klarifikasi
terlalu banyak dalang yang bemain atas kepergianmu
terlalu banyak tirai yang menutup kisah kepergianmu

kau pasti tersenyum disana
senyum bahagia karena perjuangan yang kau rintis
diteruskan oleh para laskarmu
menggema di bumi Indonesia
negara yang katanya anti kekerasan
negara yang katanya menjamin kemapanan
katanya....




Hari ini tepat dua puluh satu tahun sudah Marsinah pergi meninggalkan dunia ini. Pergi dengan luka, penganiayaan, kekerasan dan ketidakadilan yang menderanya. Marsinah adalah simbol perlawanan melawan keangkuhan negara atas nama motif untung ala kapitalisme. Simbol perlawanan yang "belum" sempat selesai.Marsinah hanya seorang buruh perempuan yang ingin memperjuangkan nasibnya, sayang resistensi yang dilakukannya berasama rekan-rekan buruh lainnya berujung pada tindak kekerasan yang akhirnya menghilangkan nyawanya.
Kasus kematian Marsinah menjadi misteri selama bertahun-tahun hingga akhirnya kasusnya kadaluarsa tepat tahun ini, tahun 2014. Mereka yang tertuduh dan dijadikan kambing hitam dalam kasus ini pun akhirnya dibebaskan oleh Mahkamah Agung. Di zaman Orde Baru, atas nama stabilitas keamanan dan politik, Negara telah berubah wujud menjadi sosok yang menyeramkan, siap menculik, mengintimidasi dan bahkan menghilangkan secara paksa siapa saja yang berani berteriak atas nama kebebasan menyuarakan aspirasi. Marsinah adalah tumbal dari apa yang namanya penindasan atas nama stabilitas keamanan dan politik pada zaman Orde Baru. Penindasan kepada Marsinah adalah bentuk ketakutan negara pada sosok-sosok yang berani berjuang dan mengobarkan semangat kebebasan, kesejahteraan dan kesetaraan. Negara menciptakan teror ketakutan kepada siapa saja yang ingin melakukan aksi perlawanan. Negara juga telah mengabaikan kasus ini, membiarkannya menjadi misteri yang tak terpecahkan selama bertahun-bertahun. Ini jelas sebuah anomali dan paradoks jika kita komparasikan dengan tujuan pembentukan dan kewajiban negara ini.
 “ Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa ...”
Perjuangan Marsinah akhirnya "beku" dan mengkristal. perjuangan dan kisahnya menjadi catatan kelam di negara yang katanya begitu peduli akan urusan HAM, kesejahteraan dan kesetaraan wanita. Apresiasi macam apa yang kira-kira pantas disematkan padanya? apakah kasus Marsinah akan selesai ketika upah buruh dinaikkan? apakah kasus Marsinah akan selesai jika pemerintah menobatkannya sebagai pahlawan buruh? sungguh ini bukan lelucon atas nama transaksi dari sebuah tragedi kemanusiaan yang begitu keji.
Marsinah hanyalah satu dari ribuan potret buruh perempuan di Indonesia yang seringkali harus dihadapkan dengan berbagai persoalan pelik yang mendasar. persoalan kesejahteraan, kekerasan,eksploitasi dan diskriminasi seolah terus menjadi pekerjaan rumah yang menumpuk bagi pemerintah untuk diselesaikan. Realitas kekinian memperlihatkan bahwa sampai hari ini begitu banyak buruh perempuan di Indonesia yang masih ambil bagian dalam rangka pemenuhan kebutuhan rumah tangga. Terlepas dari berbagai motif yang mendasari para buruh perempuan Indonesia bekerja, untuk direnungkan bersama bahwa ini adalah problem sistemik yang memaksa kaum perempuan untuk terjun langsung menerobos badai krisis finansial domesitik rumah tangga dan berusaha melawan kultur ketidakberdayaan. Kesetaraan gender dibidang pekerjaan yang didengungkan oleh suara ideologi liberalisme kapitalis telah menggiring dan sedikit memaksa para buruh perempuan Indonesia agar mau bersama berjuang bersama para suami dalam konteks mencari nafkah. Isu ataupun motif ekonomi tentu masih menjadi argumen yang kuat sebagai dasar acuan. Kasus Marsinah ini seolah menyiratkan bahwa perjuangan buruh perempuan Indonesia begitu terseok-seok. disatu sisi berjuang untuk mempertahankan eksistensi kehidupannya, tetapi disisi lain juga harus berhadapan dengan aktor negara yang kapan saja bisa hadir dalam bentuk teror,intimidasi sampai pada usaha penghilangan nyawa secara paksa. Kekerasan pada buruh perempuan Indonesia terasa menjadi hal yang jamak terjadi, hal ini karena kultur budaya Indonesia yang masih menempatkan kaum perempuan di posisi subordinat kaum lelaki. Kekerasan berbau dominasi atas kaum buruh perempuan seolah menjadi konsensus sosial yang harus diterima dalam tatanan pergaulan sosial masyarakat, dari yang bersifat personal, komunal hingga melibatkan negara. Menguak kasus Marsinah berarti harus mengurai banyak benang kusut, benang kusut yang mungkin hanya dapat terurai dari tangan mereka yang benar-benar peduli untuk mengurainya.
Selamat Hari Buruh 2014, semoga tahun ini Indonesia memilih pemimpin yang benar-benar berwatak sebagai pengayom. Pemimpin yang pro dengan kesejahteraan para buruh, Pemimpin yang tidak menjadikan kekerasan dan penculikan sebagai jalan untuk membungkam perjuangan para buruh dan semoga lewat pemimpin Indonesia yang baru, Kasus Marsinah yang sudah “kadaluarsa” ini akan terungkap sesuai dengan ekspektasi kita semua yang masih peduli dengan perjuangan akan kebebasan menyuarakan kebebasan, kesetaraan dan distribusi kesejahteraan.
Hanya ada satu negara yang pantas menjadi negaraku
Ia tumbuh dengan perbuatan dan perbuatan itu adalah perbuatanku”
(Bung Hatta )



"Tulisan ini seluruhnya tanggung jawab penulis"


Penulis: Samsul Ode S.IP
 @samsulode /085641284142

Tidak ada komentar :

Posting Komentar