Hari-hari ini khalayak luas mulai
ramai oleh sebuah proses di gedung parlemen. Gagasan baru yang dilontarkan
menuai perdebatan. Pemilihan kepala daerah (pilkada) yang menjadi terobosan-
belum satu dasawarsa berjalan- sudah hampir dijegal ditengah jalan. Mayoritas
fraksi di parlemen- yang notabene sudah diujung masa jabatan- bersikukuh untuk
mengembalikan kewenangan memilih kepala daerah pada Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (DPRD), bukan lagi pada pilihan dari sebuah proses pemungutan secara
luas.
Upaya penjegalan pada perjalanan
pilkada didasari asumsi bahwa pilkada selama ini dianggap boros pada hal pembiayaan, disisi lain asumsi bahwa pilkada juga
rawan untuk memicu konflik horizontal
di masyarakat, serta fenomena akhir-akhir ini dimana banyak kepala daerah hasil
pemilihan langsung justru masuk bui
karena bermacam hal. Selain tiga alasan diatas, ada pula dari pihak yang
medukung menyebut bahwa dengan dikembalikannya proses pemilihan kepala daerah
pada DPRD, maka koordinasi antar
kepala daerah, dalam hal ini Bupati-Walikota pada Gubernur akan lebih mudah,
asumsinya adalah apabila dipilih oleh DPRD maka kepala daerah terpilih akan
berasal dari partai pemenang di daerah bersangkutan, yang kemungkinan kepala
daerah terpilih berasal partai pemenang mayoritas di daerah tersebut semakin
besar. sehingga mereka yang terpilih adalah mereka yang golongannya sama, dan
memudahkan koordinasi diantara mereka dianggap lebih mudah.
Empat dalil yang kini acap terdengar
menurut penulis tidak terlalu
kuat untuk kembali-mengembalikan hak memilih kepala daerah dari rakyat pada
DPRD. Pertama demokrasi memang mahal, karena dipaksa untuk melibatkan seluruh
warga –yang pastinya pada mereka yang sudah memenuhi ketentuan, tetapi menurut penulis tidak ada yang jauh lebih mahal
dibandingkan kebebasan rakyat menggunakan hak memilih pemimpinnya, hingga level
terdekat dengannya.
Dua, kerawanan konflik horizontal
sebagai akibat dari pilkada yang selama ini dihelat, seharusnya menjadi cambuk
bagi pemerintah, partai politik, aparat keamanan, untuk melakukan upaya
pendidikan pada rakyat- utama pemilih, serta memperbaiki sistemnya serta upaya
pengendaliannya, bukan justru mengurangi ihwal hak rakyat untuk memilih atau
bahkan menghilangkannya.
Dalil ketiga soal korupsi kepala
daerah yang diidentikkan sebagai akibat dari biaya mahal hasil proses pilkada
langsung yang memaksa calon kepala daerah mengeluarkan banyak biaya, yang
kemudian beberapa dari mereka ketika terpilih melakukan apa saja untuk
mengembalikan modalnya. Menurut penulis, hal yang sama juga akan terjadi ketika hak
memilih kepala daerah dikembalikan pada DPRD. Mari kembali ingat preseden buruk
yang terjadi lebih dari 10 tahun lampau
ketika kepala daerah adalah hasil pilihan dari mereka yang ada di gedung dewan
daerah. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD menurut penulis justru rawan kepentingan, marak
aksi traksaksional dan minim pengawasan! Dalil keempat mengenai susahnya
koordinasi adalah ihwal kesadaran dari pimpinan daerah, mereka seharusnya –yang
menjadi kepala daerah- tidak lagi memandang kepentingan partainya tetapi jauh
lebih mulia bahwa mereka seharusnya menepati sumpah mereka untuk kepentingan
rakyatnya, sehingga egoisme
kepartaian bukan pula menjadi alasan untuk melemahkan koordinasi antar kepala
daerah.
Sesungguhnya jika kita mau jernih
melihat, pilkada langsung yang selama ini digelar, adalah implementasi nyata
dari demokrasi yang sesungguhnya. Demokrasi yang ditopang dan melibatkan
partisipasi warga dalam penentuan pemimpinnya daerah. Kita juga tak boleh ingkar
bahwasanya pilkada langsung juga telah menghasilkan banyak kepala daerah yang memiliki
prestasi yang selama ini kita saksikan, juga telah membuka ruang bagi siapa
saja untuk dapat mengajukan diri untuk dipilih rakyat, baik yang bersangkutan
berasal dari partai maupun perseorangan.
Semoga pemilihan kepala daerah
langsung oleh rakyat tetap menjadi udara segar dalam perpolkitikan kita mulai
terpapar, lantas patut berharap pula bahwa pilkada langsung dapat menumbuhkan “
bibit-bibit unggul ” ditengah gersangnya lahan perpolitikan kita. Semoga pula
mereka yang punya kuasa menjadi wakil kita disana, sebetul-betulnya mewakili
kepentingan dan memperjuangkan hak konstitusional kita.
Ditulis oleh : Khanif Idris, S.IP
Presiden Indonesia Youth Political Institute
@khanif_09/081225141312/ khanifidris.blogpot.com
@khanif_09/081225141312/ khanifidris.blogpot.com
Tidak ada komentar :
Posting Komentar