Selasa, 09 September 2014

Pemungutan Yang (Nyaris) Terenggut

Hari-hari ini khalayak luas mulai ramai oleh sebuah proses di gedung parlemen. Gagasan baru yang dilontarkan menuai perdebatan. Pemilihan kepala daerah (pilkada) yang menjadi terobosan- belum satu dasawarsa berjalan- sudah hampir dijegal ditengah jalan. Mayoritas fraksi di parlemen- yang notabene sudah diujung masa jabatan- bersikukuh untuk mengembalikan kewenangan memilih kepala daerah pada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), bukan lagi pada pilihan dari sebuah proses pemungutan secara luas.
Upaya penjegalan pada perjalanan pilkada didasari asumsi bahwa pilkada selama ini dianggap boros pada hal pembiayaan, disisi lain asumsi bahwa pilkada juga rawan untuk memicu konflik horizontal di masyarakat, serta fenomena akhir-akhir ini dimana banyak kepala daerah hasil pemilihan langsung justru masuk bui karena bermacam hal. Selain tiga alasan diatas, ada pula dari pihak yang medukung menyebut bahwa dengan dikembalikannya proses pemilihan kepala daerah pada DPRD, maka koordinasi antar kepala daerah, dalam hal ini Bupati-Walikota pada Gubernur akan lebih mudah, asumsinya adalah apabila dipilih oleh DPRD maka kepala daerah terpilih akan berasal dari partai pemenang di daerah bersangkutan, yang kemungkinan kepala daerah terpilih berasal partai pemenang mayoritas di daerah tersebut semakin besar. sehingga mereka yang terpilih adalah mereka yang golongannya sama, dan memudahkan koordinasi diantara mereka dianggap lebih mudah.
Empat dalil yang kini acap terdengar menurut penulis tidak terlalu kuat untuk kembali-mengembalikan hak memilih kepala daerah dari rakyat pada DPRD. Pertama demokrasi memang mahal, karena dipaksa untuk melibatkan seluruh warga –yang pastinya pada mereka yang sudah memenuhi ketentuan, tetapi menurut penulis tidak ada yang jauh lebih mahal dibandingkan kebebasan rakyat menggunakan hak memilih pemimpinnya, hingga level terdekat dengannya.
Dua, kerawanan konflik horizontal sebagai akibat dari pilkada yang selama ini dihelat, seharusnya menjadi cambuk bagi pemerintah, partai politik, aparat keamanan, untuk melakukan upaya pendidikan pada rakyat- utama pemilih, serta memperbaiki sistemnya serta upaya pengendaliannya, bukan justru mengurangi ihwal hak rakyat untuk memilih atau bahkan menghilangkannya.
Dalil ketiga soal korupsi kepala daerah yang diidentikkan sebagai akibat dari biaya mahal hasil proses pilkada langsung yang memaksa calon kepala daerah mengeluarkan banyak biaya, yang kemudian beberapa dari mereka ketika terpilih melakukan apa saja untuk mengembalikan modalnya. Menurut penulis, hal yang sama juga akan terjadi ketika hak memilih kepala daerah dikembalikan pada DPRD. Mari kembali ingat preseden buruk yang terjadi lebih dari  10 tahun lampau ketika kepala daerah adalah hasil pilihan dari mereka yang ada di gedung dewan daerah. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD menurut penulis justru rawan kepentingan, marak aksi traksaksional dan minim pengawasan! Dalil keempat mengenai susahnya koordinasi adalah ihwal kesadaran dari pimpinan daerah, mereka seharusnya –yang menjadi kepala daerah- tidak lagi memandang kepentingan partainya tetapi jauh lebih mulia bahwa mereka seharusnya menepati sumpah mereka untuk kepentingan rakyatnya, sehingga egoisme kepartaian bukan pula menjadi alasan untuk melemahkan koordinasi antar kepala daerah.
Sesungguhnya jika kita mau jernih melihat, pilkada langsung yang selama ini digelar, adalah implementasi nyata dari demokrasi yang sesungguhnya. Demokrasi yang ditopang dan melibatkan partisipasi warga dalam penentuan pemimpinnya daerah. Kita juga tak boleh ingkar bahwasanya pilkada langsung juga telah menghasilkan banyak kepala daerah yang memiliki prestasi yang selama ini kita saksikan, juga telah membuka ruang bagi siapa saja untuk dapat mengajukan diri untuk dipilih rakyat, baik yang bersangkutan berasal dari partai maupun perseorangan.
Semoga pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat tetap menjadi udara segar dalam perpolkitikan kita mulai terpapar, lantas patut berharap pula bahwa pilkada langsung dapat menumbuhkan “ bibit-bibit unggul ” ditengah gersangnya lahan perpolitikan kita. Semoga pula mereka yang punya kuasa menjadi wakil kita disana, sebetul-betulnya mewakili kepentingan dan memperjuangkan hak konstitusional kita.














Ditulis oleh : Khanif Idris, S.IP
Presiden Indonesia Youth Political Institute
@khanif_09/081225141312/ khanifidris.blogpot.com

Tidak ada komentar :

Posting Komentar