Secara
etimologis demokrasi terdiri dari dua kata yang berasal dari bahasa Yunani,
yaitu demos yang berarti rakyat atau
penduduk suatu tempat dan cratein
atau cratos yang berarti kekuasaan
atau kedaulatan. Pengertian mengenai demokrasi yang di anggap paling
populer, yakni oleh Abraham Lincoln pada tahun 1863 yang mengatakan demokrasi
adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat (government of the people, by the people, and
for the peolple). Ada beberapa teori demokrasi yang berkembang yaitu:
1. Teori Demokrasi Klasik
Demokrasi, dalam pengertian klasik, pertama kali muncul
pada abad ke-5 SM tepatnya di Yunani. Pada saat itu
pelaksanaan demokrasi dilakukan secara langsung, dalam artian rakyat berkumpul
pada suatu tempat tertentu dalam rangka membahas pelbagai permasalahan
kenegaraan.
Prinsip
dasar adalah penduduk harus menikmati persamaan politik agar mereka bebas
mengatur atau memimpin dan dipimpin secara bergiliran.
2. Teori Social Contract
Pemikiran
bahwa manusia adalah sumber kewenangan secara jelas menunjukkan kepercayaan
terhadap manusia untuk mengelola dan mengatasi kehidupan politik-bernegara. Pada
dasarnya teori ini merupakan teori yang paling relevan jika dikaitkan dengan
terbentuknya negara, karena asumsi rasional yang menyatakan bahwa terbentuknya
suatu negara adalah atas dasar kesepakatan dari masyarakatnya. Bertolak
belakang dengan teori klasik yang berasumsi negara telah lebih dulu ada
ketimbang masyarakatnya.
Negara Indonesia merupakan negara demokrasi, dimana
kekuasaan yang berasal dari rakyat, dapat diartikan rakyat berkuasa atau government by people[1]. Hal ini senada dengan pasal 1 ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berikut sejarah
perkembangan demokrasi di Indonesia:
Demokrasi masa revolusi (1945-1950): periode ini menunjukkan adanya
keinginan kuat untuk mewujudkan pemerintah demokratis. maka dilakukan kebijakan:
Maklumat Pemerintahaan
No.X 16 Oktober 1945: KNIP sebagai legislatif, Maklumat Pemerintah 3 November 1945: Pembentukan Parpol, serta Maklumat Pemerintah 14
November 1945: Perubahan Kabinet.
Masa Demokrasi Liberal (1950-1959): dikenal
pula sebagai demokrasi pula sebagai demokrasi parlementer karena setelah berlaku
sistem parlementer dalam naungan UUD 1945 periode pertama, Konstitusi RIS, dan
UUDS 1950. Pada periode ini partisipasi masyarakat sangat tinggi, seluruh
peristiwa politik hingga pemberontakan atua bahkan percobaan kudeta sedikit
banyak tergambar keterlibatan rakyat baik yang secara sadar kehendak diri
maupun terbawa pola aliran-aliran yang ada kala itu.
Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965): pemikiran
demokrasi ala barat sudah ditinggalkan. Soekarno yang memegang pimpinan
nasional ketika itu menyatakan bahwa demokrasi liberal tidak sesuai dengan
kepribadian bangsa. Prosedur pemungutan suara dalam lembaga perwakilan rakyat
dinyatakan pula tidak efektif dan diganti dengan konsepsi musyawarah mufakat.
Dibentuk Front Nasional dan penyederhanaan partai yang diharapkan menciptakan
stabilitas negara, namun pada intinya justru membatasi partisipasi massa.
Demokrasi masa orde baru (1966-1998): dimulai tekad melaksanakan Pancasila & UUD 45 murni dan
konsekuen. Akan tetapi justru demokrasi tidak berkembang pada masa ini, karena
faktor: rekruitmen politik yg tertutup, pemilu yang jauh dari semangat
demokrasi, pengakuan hak dasar dan rotasi kekuasaan hampir tidak ada.
Demokrasi masa Reformasi (1999-sekarang): peningkatan Prinsip Demokrasi diwujudkan
melalui Penegakan HAM (UU No 39 tahun 1999 tentang HAM dan UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan
HAM). Pelaksanaan demokrasi yang sangat penting adalah amandemen UUD 45
sebanyak 4 kali pada tahun 1999, 2000, 2001 dan 2002 bertujuan untuk mengubah
dan memperbarui demokrasi sesuai dengan prinsip negara demokrasi.
Pemilihan
umum atau Pemilu
adalah salah satu momentum dalam menciptakan kedaulatan berada ditangan rakyat.
Bagi negara demokrasi modern, Pemilu merupakan mekanisme utama yang harus ada
dalam tahapan penyelengaraan negara dan pembentukan pemerintahan. Pemilu
dipandang sebagai bentuk paling nyata dari kedaulatan yang berada ditangan
rakyat serta wujud paling konkret partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan
negara.[2] Sama
halnya dengan Pemilu, dalam penyelengaraan di daerah dikenal dengan istilah
pemilihan kepala daerah atau Pilkada guna memilih kepala daerah, baik kepala
daerah tingkat satu yakni Gubernur, maupun pemilihan kepala daerah tingkat dua
yakni Bupati/Walikota. Hal ini merupakan salah satu wujud dan mekanisme demokrasi
di daerah secara langsung, dan sarana manifestasi kedaulatan dan pengukuhan
bahwa pemilih adalah masyarakat daerah.
Mengenai dasar hukum dilaksanakannya pilkada di
Indonesia terlihat seperti terdapat keragu-raguan pemerintah dalam mengeluarkan
produk hukum dalam menjalankan pilkada di Indonesia. Pada akhir 2014,
pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota, yang menimbulkan pro dan kontra di
masyarakat, karena dalam undang-undang tersebut Pilkada dikembalikan
pemilihannya oleh DPRD, dengan adanya penolakan atas hal tersebut, pemerintah
mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1
Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, dengan
memasukan kembali Pilkada dilakukan dengan cara pemilihan secara langsung oleh
rakyat, serta dilaksanakan secara serentak dan pemerintah menetapkan Perpu
tersebut menjadi undang-undang, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015
Tentang Penetapan atas Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1
Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, namun belum
sempat undang-undang ini dijalankan pemerintah kembali menghapus beberapa
pasal-pasal dalam undang-undang tersebut, sehingga adanya revisi atas undang-undang
tersebut maka keluarlah Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Perubahan
atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 Tentang Penetapan atas Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan
Gubernur, Bupati, dan Walikota. Dalam undang-undang tersebut tetap
mejelaskan Pilkada dilakukan secara langsung oleh rakyat dan pelaksanaannya
dilakukan secara serentak, dan salah satunya pelaksanaan pada tahun 2015 ini,
ironinya Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015 ini pun kembali diusulkan untuk
dilakukan revisi kembali dikarenakan terdapat beberapa pasal yang ingin dirubah
salah satunya mengenai anggaran untuk membiayai penyelenggaraan pilkada
serentak 2015 ini. Namun dapat dikatakan Undang-Undang Nomor 8 tahun 2015
merupakan patokan atau dasar hukum penyelenggaraan pilkada serentak pada tahun
2015.
Substansi dari pilkada sendiri adalah penyampaian
suara rakyat daerah untuk membentuk lembaga perwakilan dan pemerintahan daerah
sebagai penyelenggara negara di daerah. Suara rakyat di wujudkan dalam bentuk
hak pilih, yaitu hak untuk memilih wakilnya dari berbagai calon yang ada.
Sebagai suatu hak, hak memilih harus dipenuhi dan sesuai dengan amanat
konstitusi, hal ini merupakan tanggung jawab negara yang dalam pelaksanaannya
dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum di tingkat pusat mapun Komisi Pemilihan
Umum Daerah (KPUD) di daerah sebagai lembaga penyelenggara negara.
Penyelenggaraan
pemilihan kepala daerah yang begitu banyak di Indonesia dinilai sangat
memboroskan anggaran daerah. Bahkan bagi daerah yang kemampuan fiskalnya
rendah, kewajiban membiayai pilkada ternyata mengurangi belanja pelayanan
publik seperti urusan pendidikan dan kesehatan. Oleh karena itu, penyelenggaraan pilkada
serentak dipandang lebih tepat karena lebih hemat dan efisien.[3] Terkait politisasi anggaran, saat tahap
pilkada mulai berjalan, ternyata banyak daerah yang belum mengalokasikan
anggaran penyelenggaraan pilkada. Alasannya antara lain daerah tidak memiliki
anggaran tambahan untuk membiayai pilkada. Selain itu, banyak daerah yang belum
menetapkan APBD untuk tahapan pilkada.
Setidaknya terdapat tiga masalah pencalonan pasangan
kepala daerah dalam proses penyelenggaraan pilkada.[4] Pertama,
terjadi politik uang dalam bentuk ”ongkos perahu” yang diberikan pasangan calon
kepada partai politik yang memang berhak untuk mencalonkan. Inilah politik uang
pertama sekaligus kentara dalam pilkada sekalipun besarnya ”ongkos perahu”
tidak sebanding dengan dukungan parpol dalam kampanye. Kedua, terjadi
ketegangan dan bahkan perpecahan internal parpol akibat ketidaksepakatan
pengurus parpol dalam mengajukan pasangan calon. Akibatnya, parpol menjadi
lemah sehingga mereka gagal memperjuangkan kepentingan anggota. Ketiga,
pencalonan yang hanya mempertimbangkan ”ongkos perahu” mengecewakan masyarakat
karena calon yang diinginkan tidak masuk daftar calon. Di satu pihak, hal ini
menyebabkan masyarakat apatis terhadap pilkada sehingga partisipasi pemilih
menurun. Di lain pihak, hal itu menyebabkan masyarakat marah sehingga bisa
menimbulkan konflik terbuka.
[1] Miriam Budihardjo, Dasar-Dasar
Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008) hal. 105
[2] Janedjri M. Gaffar, Politik
Hukum Pemilu, (Jakarta: Konstitusi Press, 2012) hal. Pengantar
[3] ”Biaya pilkada
untuk kabupaten/kota Rp 25 miliar, untuk pilkada provinsi Rp 100 miliar. Jadi
untuk keseluruhan pilkada di Indonesia diperlukan Rp 17 triliun. Kalau
dilaksanakan secara serentak diperlukan Rp 10 triliun. Lebih hemat dan hanya sekian persen
dari APBN. Jadi, saya pikir pilkada bisa dibiayai oleh APBN, bukan oleh APBD,”
kata Sekretaris Jenderal Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk
Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) Yuna Farhan. Studi yang
dilakukan Seknas Fitra di 14 daerah menemukan, pembiayaan pilkada melalui APBD
memberi peluang besar bagi pelaku di daerah untuk melakukan politik dan
politisasi anggaran. Calon yang sedang memegang kekuasaan eksekutif
pemerintahan daerah dapat menggunakan instrumen anggaran pilkada untuk
memperkuat posisi tawar politiknya.
[4] Pernyataan Wakil
Direktur Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi Veri Junaidi, berdasar pengalaman
penyelenggaraan pilkada sejak tahun 2005,
Tidak ada komentar :
Posting Komentar