Pendidikan merupakan
kunci penting dalam setiap peradaban bangsa. Bahkan cita-cita luhur suatu bangsa
yang tertuang dalam falsafah dan dasar negaranya akan berhasil diwujudkan
manakala instrumen perwujudannya ditopang oleh sistem pelaksanaan dan
penyelenggaraan pendidikan yang baik. Memasuki millennium ketiga, pendidikan juga
harus mampu menjawab tantangan demokrasi dan reformasi yang kesemuanya itu
hanya dapat dimulai dengan adanya kesadaran untuk membangun pendidikan yang baik
dan berkualitas.
Sebagai pihak yang
mengemban mandat dari rakyat, pemerintah telah berusaha melakukan perbaikan
kebijakan pendidikan di Indonesia setiap tahunnya. Fasli Djalal dan Dedi
Supriyadi, dalam bukunya Reformasi Pendidikan
dalam Konteks Otonomi Daerah, menjelaskan (memasuki era reformasi)
bagaimana pemerintah melaksanakan reformasi politik pendidikan di Indonesia.
Kebijakan pemerintah untuk meningkatkan mutu dan relevansi pendidikan
setidaknya meliputi empat aspek utama, yaitu kurikulum, tenaga pendidik, sarana
pendidikan, dan kepemimpinan satuan pendidikan. Sayangnya, tawaran pemikiran
konsep yang baik di atas tidak diimbangi dengan praktik lapangan yang nyata.
Belum lagi adanya praktik tindak pidana korupsi dalam tubuh Kementerian
Pendidikan Nasional membuat politik pendidikan Indonesia menjadi semakin
kompleks. Konsekuensinya, praktik yang kurang maksimal dalam politik pendidikan
membuat pendidikan Indonesia menjadi tertinggal dari negara lain, tidak hanya
mengenai kualitas pendidikan itu sendiri namun juga berdampak pada kualitas
sumber daya manusia dan daya saing bangsa, yang berdasarkan pada data dari Global Competitiveness Report, di tahun
2008, daya saing Indonesia hanya berada di peringkat 55 jauh dibawah Singapura,
Malaysia, China, dan Thailand.
Berbicara mengenai kualitas pendidikan, ada hal yang menarik
dari potret pendidikan dasar di Indonesia. Di tengah antusiasme dan tuntutan
masyarakat akan kebijakan wajib belajar 12 tahun, masyarakat dan pemerintah
perlu memperhatikan posisi pendidikan dasar Indonesia di mata dunia. Berdasarkan
penelitian terhadap kualitas pendidikan dasar yang dilakukan oleh Asia South Pasifik Beareu of Education dan
Global Campaign for Education tahun
2005, Indonesia menduduki peringkat 10 dari 14 negara berkembang di Asia
Pasifik dengan capaian nilai 42 dari 100 dan memiliki nilai rata-rata E. Untuk
aspek penyediaan pedidikan dasar lengkap, Indonesia mendapat nilai C (peringkat
7). Pada aspek aksi negara, Indonesia memperoleh huruf mutu F (peringkat 11).
Di samping itu, aspek kualitas inputpengajar, Indonesia mendapat nilai E dan
menempati peringkat paling akhir.[1]
Data dari beberapa penelitian terbarupun masih menunjukkan belum adanya
peningkatan peringkat kualitas pendidikan Indonesia yang berarti. Berdasarkan
studi yang dilakukan oleh Trend in
International Mathematics and Science Study (TIMSS) pada tahun 2011 untuk
mengukur kualitas siswa kelas 2 SMP pada mata pelajaran matematika dan IPA,
kemampuan siswa kelas 2 SMP di Indonesia dalam mata pelajaran matematika hanya
mampu menduduki peringkat 38 dari 45 negara yang diteliti dengan nilai
rata-rata 386, jauh dibawah standar international, yaitu 500[2].
Sedangkan dalam mata pelajaran IPA,
siswa kelas 2 SMP di Indonesia hanya mampu menduduki peringkat 40 dari 45
negara yang diteliti dengan nilai rata-rata 406.[3]
Sementara itu, masih berdasarkan penelitian yang dilakukan
pada tahun 2011, studi international tentang kemampuan membaca siswa kelas 4 SD
dalam Progress in International Reading
Literacy Study (PIRLS), merilis bahwa kemampuan membaca siswa kelas 4 SD di
Indonesia menempati peringkat 42 dari 45 negara dengan nilai rata-rata 428,
disaat ada 33 negara lain yang berhasil melampaui standar internasional (mampu
mencapai nilai lebih dari 500).[4]
Rendahnya kemampuan anak-anak Indonesia dalam membaca juga ditunjukkan dengan
persentase penguasaan materi anak Indonesia pada bacaan. Ternyata anak
Indonesia hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan mereka sangat sulit
sekali menjawab soal-soal bentuk uraian yang memerlukan penalaran.[5]
Sedangkan berdasarkan penelitian yang paling baru mengenai kualitas pendidikan
di Indonesia yang dirilis oleh Programe
for International Student Assesment (PISA) pada tahun 2012 untuk meneliti
kemampuan siswa berusia 15 tahun dalam
matematika, IPA, dan membaca, Indonesia berada diurutan ke-64 dari 65
negara.[6]
Rendahnya kualitas pendidikan dasar di atas antara lain
disebabkan oleh minimnya akses pendidikan yang dapat dijangkau oleh anak-anak
Indonesia. Kesenjangan antara Indonesia Barat dan Timur pun turut menyumbang
permasalahan pendidikan dasar Indonesia yang pada akhirnya menyebabkan
rendahnya kualitas pendidikan Indonesia khususnya pendidikan dasar. Mengetahui
hal ini, koreksi masing-masing pihak sudah barang tentu diperlukan. Sudah bukan
saatnya lagi saling menyalahkan satu sama lain. Masalah ini adalah masalah
bersama yang memerlukan solusi bersama. Optimalisasi penggunaan anggaran
pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD serta anggaran pendidikan dasar dari
Dana Alokasi Khusus pun menjadi harapan yang dapat menjadi batu loncatan bagi
kualitas pendidikan Indonesia ke depan. Kontrol dan partisipasi dari masyarakat
serta pihak yang berkepentingan lannya diperlukan agar reformasi pendidikan
Indonesia tidak hanya sedakar wacana.
Penulis
Mouliza
Kristhopher Donna Sweinstani
@MoulyzaDonna / 081542965323
@MoulyzaDonna / 081542965323
[1] Rifai, Muhammad. 2011. Politik Pendidikan Nasional. Yogyakarta:Ar
Ruzz Media Hlm. 144-148
[2] Mullis, Ina, et.al. 2012. TIMSS 2011International Results In
Mathematics. Boston:TIMSS&PIRLS International Study Center. Hlm. 42-43
[3] Mullis, Ina, et.al. 2012. TIMSS 2011International Results In Science. Boston:TIMSS&PIRLS
International Study Center. Hlm. 40-41
[4] Mullis, Ina, et.al. 2012.PIRLS 2011International Results In Reading. Boston:TIMSS&PIRLS
International Study Center. Hlm. 38
[5] Op.cit. Rifai, Muhammad. Hlm. 149-150
[6] Ubah Pola Interaksi Sekolah dan Murid, dimuat dalam harian KOMPAS,
edisi Jumat, 6 Desember 2013
Tidak ada komentar :
Posting Komentar