Oleh:
Adam Mulya Bungamayang[1]
Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) telah menyetujui Komjen (Pol) Budi Gunawan sebagai Kapolri yang diajukan oleh Presiden
Joko Widodo pada Rapat Paripurna (15/1) meskipun dalam hal ini status hukum
Budi Gunawan sebagai Tersangka.
Dengan
keluarnya pernyataan DPR tersebut, seharusnya Presiden Joko Widodo segera
melantik Komjen (Pol) Budi Gunawan sebagai Kapolri menggantikan Jenderal
Sutarman, namun karena ada penetapan status tersangka terhadap Budi Gunawan,
maka Presiden mengambil langkah dengan mengeluarkan 2 Keputusan Presiden
(Keppres), yang pertama Keppres tentang pemberhentian dengan hormat Jenderal
(Pol) Sutarman sebagai Kapolri, dan menunda pelantikan Komjen (Pol) Budi
Gunawan sebagai Kapolri. Lalu Keppres yang kedua tentang penugasan kepada
Wakapolri Komjen (Pol) Badrodin Haiti sebagai Pelaksanaan Tugas Kapolri atau
Plt Kapolri, hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekosongan hukum, dan memang tepat apabila Wakapolri menggantikan
Kapolri ketika Kapolri berhalangan tetap, dalam hal ini Kapolri Jenderal
Sutarman dapat dikatakan berhalangan tetap karena telah keluarnya Keppres yang
memberhentikannya.
Dengan
memundanya pelantikan Komjen (Pol) Budi Gunawan sebagai Kapolri, Presiden
terlihat ingin memberikan ruang kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
sebagai lembaga penegak hukum untuk melanjutkan proses hukum terhadap Budi
Gunawan apakah terbukti bersalah dalam dugaan suap dan gratifikasi, karena KPK
tidak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan
penuntutan (SP3) dalam perkara tindak pidana korupsi[2]. Serta
memberi kesempatan kepada Budi Gunawan untuk melakukan pembuktian atas penetapan
status tersangka pada dirinya, salah satu caranya, Budi Gunawan dapat mengambil
langkah praperadilan[3]
untuk membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah dari semua tuduhan soal suap,
gratifikasi dan sebagainya, serta membuktikan sah atau tidaknya penetapan
dirinya sebagai tersangka.
Namun
permasalan ini ditanggapi lain oleh Pakar Hukum Tata Negara Prof. Yusril Ihza
Mahendra dalam akun Twitternya @Yusrilihza_Mhd yang mengatakan pengangkatan dan
pemberhentian Kapolri dilakukan satu paket bukan dipisah dan harus berdasarkan
persetujuan DPR[4]
menurutnya pemberhentian Kapolri dan pengangkatan Plt Kapolri yang dilakukan
oleh Presiden Joko Widodo tidak dengan proses yang benar secara Undang-Undang,
pengangkatan dan pemberhentian Kapolri kedua-duanya harus dengan persetujuan
DPR dengan disertai alasannya[5], apabila
Jenderal Sutarman hendak di berhentikan Presiden seharusnya mengajukan
permintaan persetujuan pemberhentiannya ke DPR dengan alasan-alasannya, kecuali
karena alasan mendesak Presiden dapat memberhentikan Kapolri tanpa minta
persetujuan DPR, menurutnya keadaan mendesak itu hanya ada dua, yakni jika
kapolri melanggar sumpah jabatan atau membahayakan keamanan negara, dalam
keadaan seperti itulah Presiden dapat memberhentikan Kapolri dan menunjuk Plt
tanpa persetujuan DPR.
Dengan
munculnya dinamika yang berkembang dimasyarakat dan demi menjaga nama baik
Institusi Polri mapun Institusi lainnya, rasanya Presiden mengambil “langkah
terbaik” dari situasi yang serba “tidak baik” ini dengan mengeluarkan dua Keppres
tersebut.
"Tulisan ini sepenuhnya tanggung jawab penulis"
Penulis :
Adam Mulya Bungamayang/Kadiv Politik IYPInstitute
Twitter : @adhammulya
"Setiap orang berhak berpendapat, maka katakanlah!!! Meskipun sakit yang kau dapati."
[1] Mahasiswa S1 Fakultas Hukum
Universitas Diponegoro, Kepala Divisi Politik IYPI (Indonesia Youth Political
Institute)
[2] Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi
[3] Pasal 1 angka 10 Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
“Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri
untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini,
tentang: sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan
tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;….” Dalam hal
terdapat kesalahan dalam proses maupun individu penyidik dalam memeriksa dapat
diajukan Praperadilan.
[4] “Mengangkat dan Memberhentikan
Kapolri harus Persetujuan DPR” Diakses dari www.chirpstory.com/li/247778, pada hari sabtu, 17 Januari
2015 pukul 17.19
[5] Pasal 11 ayat (5) Undang –
Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
“Dalam
keadaan mendesak, Presiden dapat memberhentikan sementara Kapolri dan
mengangkat pelaksana tugas Kapolri dan selanjutnya dimintakan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat.”
Tidak ada komentar :
Posting Komentar